Judul Buku : Negeri 5 Menara
Nama
Pengarang : Ahmad Fuadi
Tahun Terbit : 2009
Nama Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : 423 Halaman
Isi :
Alif Fikri berasal
dari Maninjau, Bukittinggi, Sumatra barat,
adalah seorang anak laki-laki desa yang sangat pintar. Ia dan teman baiknya
Randai memiliki mimpi yang sama yaitu masuk ke SMA terbaik di Bukittinggi dan
melanjutkan studi di ITB, universitas yang bergengsi itu. Selama ini Alif
bersekolah di madrasah atau sekolah agama Islam. Alif merasa sudah cukup
menerima ajaran Islam dan ingin menikmati
masa remajanya
seperti anak-anak remaja lainnya di SMA. Dengan berbekal nilai ujian yang lumayan bagus membuatnya
merasa akan terbuka kesempatan untuk Amak (ibu) memperbolehkannya untuk masuk
sekolah umum. Namun mimpinya seakan sirna, musnah tak berbekas, karena Amak
tidak mengijinkan. Beliau menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka,
ulama yang terkenal di tanah kelahiran Alif. Dengan keputusan setengah hati
Alif menuruti keinginan Amak. Namun Alif ingin bersekolah di Pondok Madani yang
di Jawa Timur sesuai saran yang di tuliskan melalui surat oleh pamannya Pak
Etek Gondo yang sedang berkuliah di Kairo. Dengan keterpaksaan kedua orang
tuanya memperbolehkan Alif untuk melanjutkan sekolahnya di Pondok Madani,
Gontor, Jawa Timur.
Besok pagi Alif di
antar ayahnya ke Jawa dengan menaiki bus. Sebelum meninggalkan rumah, Alif
mencium tangan Amak sambil meminta doa dan minta ampun atas kesalahannya.
Selama tiga hari dalam perjalanan ke Jawa akhirnya sampai juga di terminal
Ponorogo. Di terminal tersebut mereka telah disambut oleh panitia penerimaan
siswa baru di Pondok Madani. Kemudian mereka langsung diajak menaiki bus untuk
berangkat ke Pondok Madani yang tidak jauh dari terminal tersebut. Sampainya di
pondok, Alif mengisi folmulir sebagai calon siswa. Setelah seluruh calon siswa
mengisi folmulir, mereka diajak oleh panitia untuk berkeliling di Pondok
Madani. Di hari H Alif dan calon siswa lainnya melaksanakan ujian tulis. Hanya
satu hari setelah ujian, tepat tengah malam, sepuluh papan pengumuman hasil
ujian berjejer di kantor panitia. Alif dan ayahnya merasa sangat senang karena
Alif lulus ujian tulis di Pondok Madani.
“Man Jadda
Wajada”. Pada hari pertama di Pondok Madani, ustad Salman sebagai wali kelas
Alif meneriakkan sebuah kalimat mutiara sederhana dan kuat yakni “Siapa yang
bersungguh-sungguh akan behasil”. Di kelas 1 A Alif bersahabat akrab dengan
Atang berasal dari Bandung, Raja berasal dari Medan, Dulmajid berasal dari
Madura, Said berasal dari Surabaya, dan Baso berasal dari Sulawesi. “Sahibul
Menara” sebuah sebutan penghuni Pondok Madani terhadap Alif dan kelima sahabatnya
yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani saat menunggu
shalat magrib berjama’ah atau hanya menghabiskan waktu senggangnya untuk
belajar bersama-sama, mendiskusikan tentang impian mereka, mengagumi
kisah-kisah islami, semuanya dilakukan di tempat yang sama yaitu menara. Suatu
ketika Sahibul Menara menunggu maghrib sambil menatap awan berarak pulang ke
ufuk. Di mata mereka awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian
masing-masing. Kemana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka
tahu adalah “Jangan pernah meremehkan impian walau setinggi langit.
Sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar”.
Sehabis isya,
siswa-siswa berbondong-bondong memenuhi aula. Untuk menghadiri “Pekan
Perkenalan Siswa Pondok Madani. Kiai Rais selaku pemimpin Pondok Madani
memberikan sambutan dan semangat kepada siswa baru di Pondok Madani. Setelah
itu, acara tersebut ditutupnya dengan doa.
Al-Barq nama
asrama dimana tempat Alif beristirahat. Sebelum tidur Kak Is membacakan Qanun
(aturan tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar). Bila aturan dilanggar
ganjarannya tidak main-main. Bila tidak digunduli, sekurang-kurangnya dapat
jeweran berantai. Bahkan, bila pelanggarannya berat santri bisa dipulangkan.
Pagi harinya Sahibul Menara bersama-sama belanja kebutuhan siswa baru di Pondok
Madani. Saat jam menunjukkan 16.50, mereka masih bingung memilih lemari.
Lonceng waktu ke mesjid sudah berbunyi mereka kebingungan mencari cara supaya
cepat membawa lemari mereka di asrama. Tiba-tiba datang seorang dari bagian
keamanan yang menghentikan langkah mereka. Sahibul Menara terkena hukuman jewer
berantai karena terlambat lima menit ke mesjid untuk melaksanakan shalat
maghrib berjama’ah. Setelah melakukan shalat maghrib Kak Sofyan mengumumkan
siswa yang mendapatkan wesel (kiriman dari keluarga atau orang yang
dikenalnya)l dan siswa yang harus menghadap ke mahkamah keamanan (orang yang
melakukan kesalahan dan dihukum sesuai kesalahannya). Said merupakan siswa yang
beruntung mendapatkan wesel pada hari itu. Namun, Alif dan Sahibul menara
lainnya termasuk Said juga mendapatkan panggilan untuk menghadap ke mahkamah
keamanan karena kesalahan tadi sore. Setiap Sahibul Menara mendapat hukuman
menjadi jasus (mata-mata) dan diberikannya 1 kartujasus untuk 2 kesalahan siswa.
Dalam waktu 24 jam di mulai saat itu mereka harus mencari siswa lain yang
melanggar aturan di Pondok madani serta mencatat namanya (semua siswa di PM
memakai identitas diri mereka masing-masing sesuai ketentuan). Apabila mereka
tidak mendapatkan siswa yang melanggar aturan dalam waktu 24 jam ke depan maka
akan ditambahkan 2 kartu jasus kepada mereka. Waktu tersisa 3 jam, kartu jasus
Sahibul Menara terisi semua dan mereka terbebas dari hukuman tersebut.
Surat dari
seberang pulau, Alif menerima surat dari Randai yang menceritakan masa-masa
perkenalan di SMA bukittinggi. Kedatangan surat dari Randai itu membuat Alif
jadi bersedih dan malas bicara. Alif membayangkan keindahan masa-masa
berseragam putih abu-abu. Said dan Raja Mencoba menghibur Alif tapi tidak ada
hasilnya. Malam harinya ada tambahan kelas malam. “Malam ini kita akan
menghabiskan waktu keliling dunia” kata ustad Salman saat masuk di dalam kelas
1 A. Beliau membacakan potongan mutiara dari tokoh-tokoh ini, “BJ Habibie,
Mutiara dari Timur” , “Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan”, “Marthin Luther
King, Jr: Stride Toward Freedom”, dan “Mohammed, The Man of Allah” yang membuat
Alif cukup terhibur.
Pelajaran wajib
yang selalu ada setiap hari, enam kali dalam seminggu adalah lughah Arabiah
(bahasa Arab) yang diajarkan oleh ustad Salman. Alif dan teman yang lain,
pelajaran yang paling ditunggu adalah taarikh (sejarah dunia) yang diajarkan
oleh ustad Surur. Mata pelajaran Al-Qur’an dan Hadits juga dibawakan amat
menarik oleh ustad Faris. Alif sangat menyukai pelajaran Khatul Arabi (kaligrafi Arab) yang diajarkan
oleh ustad Jamil. Pelajaran yang Alif suka tapi selalu berkeringat dingin saat
menghadapinya adalah Mahfuzhat yang diajarkan oleh ustad Badil. Tapi dari semua
pelajaran, bahasa Inggris adalah favorit Alif yang diajarkan oleh ustad Karim.
Selain kelas pagi sampai jam 6, mereka juga mengikuti tambahan kelas sore untuk
mendalami pelajaran pokok, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris. Tambahan
kelas malam yang dibimbing oleh wali kelas. Sementara kamis sore tidak ada
pelajaran, tapi diisi dengan pelatihan pramuka. Tapi dari semua hari, hari yang
paling mulia bagi kami dalah hari jum’at. Sebab, hari mulia ini adalah hari
libur mingguan kami di Pondok Madani. Jum’at artinya bebas melakukan berbagai
aktivitas yang tidak menyalahi aturan. Hari jum’at juga mereka boleh keluar
dari Pondok Madani asal bisa kembali pada hari itu juga.
Hari jum’at ini,
Said mengajak Sahibul Menara ke Ponorogo. Dengan berbagai macam alasan
satu-persatu dari Sahibul Menara mendapatkan izin dari ustad Torik yang sedang
piket saat itu. Mereka menyewa sepeda ontel dari rumah penduduk. Setelah keluar
dari Pondok Madani, pertama yang mereka lakukan yaitu ingin memperbaiki gizi
dan makan sate di warung Cak Tohir, membeli berbagai kebutuhan sekolah di pasar
Ponorogo. Kedua, ingin melewati Ar-Rasyidah pesantren khusus putri yang
terkenal. Yang ketiga agak beresiko, melewati bioskop. Said ingin melihat
spanduk film yang di perankan oleh idolanya Arnold Schwarzenegger. Hujan turun
sangat lebat, membuat Sahibul Menara terlambat 5 menit dari waktu yang
ditentukan yakni jam 17.00. Karena keadaan tersebut mereka terbebas dari
hukuman.
Begitu pula siasat
Dulmajid yang memengaruhi ustad Torik agar boleh izin nonton bareng
pertandingan final bulu tangkis di lingkungan Pondok Madani, padahal qanun
(aturan pondok) menegaskan santri Pondok Madani di larang menonton TV. “Ustad,
lob antum itu mirip sekali dengan Icuk dan smash atum mirip Liem Swie King.
Kalau nggak percaya, kita nonton siaran langsung besok malam.” Kata Dulmajid.
Ustad Torik langsung takhluk dan terjadilah peristiwa bersejarah itu : TV masuk
Pondok Madani.
Dalam waktu 3
bulan, siswa tahun pertama Pondok Madani masih boleh menggunakan bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah mereka sendiri. Namun setelah itu mereka harus
menguasai bahasa resmi di Pondok Madani yakni bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Itu merupakan tantangan terbesar buat mereka. Setiap selesai shalat subuh
seorang kakak penggerak bahasa masuk ke setiap kamar dengan membawa papan tulis
kecil. Mereka diminta mengulangi bersama-sama dan satu persatu apa yang kakak
tersebut katakan. Setelah itu diberikan sebuah kalimat sempurna dengan
menggunakan kosa kata yang telah mereka ucapkan bersama-sama tadi. Lalu,
giliran mereka membuat kalimat lain dengan menggunakan kosa kata ini. Sebelum
di tutup, mereka disuruh meneriakkan kembali kosa kata tadi bersama-sama. Dan
mereka diberikan tugas untuk menyalin kosa kata tadi dan membuat 3 contoh
penggunaanya dalam kalimat. Itu semua dilakukan setiap hari, 7 kali seminggu.
Sebuah metode sederhana yang sangat kuat dan mampu melekatkan bahasa baru ke
dalam alam bawah sadar untuk tidak lepas lagi selamanya.
Sementara 2 kali
seminggu, setelah shalat subuh, mereka membuat 2 barisan panjang di lapangan
dan melakukan percakapan dengan teman yang ada di depannya menggunakan suara
yang keras. Kakak para penggerak bahasa akan mondar-mandir mendengar, mengoreksi, memberi kalimat yang
baik. Mereka diajarkan untuk berani mencoba dan tidak takut salah. Sampai pada
suatu jum’at, jam 4 subuh. Kak Is menggelitik ujung-ujung sajadah ke hidung
Alif, tapi yang keluar dari mulut Alif secara otomatis ucapan : “Maaziltu an’as
kak, ayyatu saa’atin haaza?”(masih ngantuk banget kak, jam berapa sih?). Ajaib,
dalam posisi setengah sadar Alif menggunakan kalimat lengkap berbahasa Arab.
Sejak saat itu Alif dan kawan-kawannya yang lain merasakan perubahan yang sama.
Pesan Kiai Rais “Pasang niat kuat, berusaha keras dan berdoa khusyuk, lambat
laun, apa yang kalian perjuangkan akan berhasil. Ini sanatullah-hukum Tuhan”.
Sudah beberapa
bulan Alif sengaja tidak menghubungi Amak sebagai protes tidak boleh masuk SMA.
Cerita Kiai Rais berputar di kepalanya tentang susahnya menjadi seorang ibu.
Karena Alif tidak mau menjadi seperti Malin Kundang maka Alif memohon ampun
kepada Allah SWT. Malam itu juga, Alif
menuliskan surat untuk mengabari keadaannya di Pondok Madani kedapa
Amak. Sejak itulah Alif teratur menulis surat ke Amak. Satu sampai dua kali
sebulan.
Berbagai macam
aktivitas dilakukan oleh Alif dan Sahibul Menara lainnya, Sampailah saatnya
mereka melaksanakan ujian. Bertempelan dimana-mana spanduk yang bertuliskan
“Ma’an najah” (Semoga sukses dalam ujian). Pembukaan ujian oleh Kiai Rais
seakan-akan ujian adalah sebuah hari besar keramat ketiga setelah Idul Fitri
dan Idul Adha. Dan dari kejauhan, bunyi lonceng besar berdentang keras.
Menandakan 15 hari ujian berakhir. Alhamdulillah. . . . . . . . . . . . . . .
Tiga tahun
kemudian, hari pertama imtihan nihai datang juga. Warga Pondok Madani
Menyebutnya “ujian di atas ujian”. Berbeda dengan ujian selama ini, untuk ujian
kelas enam kami harus berpakaian rapi layaknya seorang penguji. Di awali dengan
ujian lisan selama sepuluh hari, kemudian siswa diberikan waktu istirahat
beberapa hari untuk mempersiapkan diri untuk ujian tulis. Selang beberapa hari
kemudian, mereka masuk ke babak akhir perjuangan thalabul ilmi mereka di Pondok
Madani : ujian tulis. Malam hari, mereka berkumpul di aula. Kebiasaan di Pondok
Madani, sebuah ujian dibuka dan ditutup dengan pertemuan yang dipimpin oleh
Kiai Rais. Inilah Malam Syukuran Ujian Akhir.
Sudah dua minggu
berlalu sejak mereka merayakan selesainya ujian. Tiba saatnya, “Pengumuman
kelulusan kita sudah ada, bisa di lihat di aula” seru Said sebagai ketua
angkatan mereka berteriak-teriak setelah subuh.Alhamdulillah, Alif serta
Sahibul Menara dan teman lainnya LULUS. Menurut pengumuman, hanya kurang dari
sepuluh orang yang tidak lulus dan mereka dapat kesempatan untuk mengulang
setahun lagi. Malamnya, diadakan yudisium dan khutbatul wada’ (Khutbah
perpisahan) yang dipimpin oleh Kiai Rais. Kemudian siswa kelas enam berjabat
tangan dengan Kiai Rais dan para guru. Selanjutnya, giliran adik kelas mereka
memberikan selamat dan jabat tangan. Esok paginya, para alumni sudah siap
dengan koper masing-masing. Beberapa bus dengan tujuan masing-masing sudah
menunggu di depan aula. Ditengah kabut yang tipis, mereka sekali lagi
bersalaman dan berangkulan dan berjanji akan saling berkirim surat. Entah kapan
Alif akan melihat Sahibul Menara lainnya sebagai kawan-kawan terbaiknya lagi.
Setelah 15 tahun
masa-masa sulit di Pondok Madani berlalu. Alif (Washington DC), Atang (Kairo),
dan Raja (London) dipertemukan kembali di London setelan 11 tahun dipisahkan.
Keberadaan Sahibul Menara yang lain yakni : Said meneruskan bisnis batik
keluarga Jufri d Pasar Ampel, Surabaya. Sesuai cita-cita mereka dulu, Said dan
Dulmajid mendirikan sebuah pondok dengan Semangat PM di Surabaya. Baso yang
brilian ini kuliah di Mekkah dengan modal hapal luar kepala segenap isi
Al-Qur’an, dia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan,
Atang telah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi mahasiswa
program doktoral untuk ilmu hadits di Universitas Al-Azhar. Sementara Raja
telah 1 tahun tinggal di London, setelah menyelesaikan hukum Islam dengan gelar
License di Madinah. Dia akan berada di London selama 2 tahun memenuhi
undangan komunitas Muslim Indonesia di
kota ini untuk menjadi pembina agama. Alif sebagai wartawan di Independence
Avenue.
Dulu mereka
melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Mereka
tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga mereka tidak tahu bagaimana
merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah mereka mengerahkan segala
ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian ke pelukkan
masing-masing. Mereka berenam teral berada di lima negara yang berbeda. Di lima
menara impian mereka. Jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apapun.
Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man Jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh
akan berhasil.
Kelebihan
:
Novel ini dapat
dibaca oleh semua kalangan. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat
menarik. Ringan, deskriptif dan mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan
wawasan berbagai macam daerah. Terdapat catatan kaki di bagian bawah yang
menjelaskan arti dari kata tersebut. Ungkapan-ungkapan dan peribahasa juga
terdapat dalam novel tersebut, salah satunya “Man Jadda Wajada” yang sering di
cantumkan dan membuat novel ini terkenang di hati pembaca. Pembaca tidak akan
bosan membaca kehidupan di Pondok karena penulis menggunak alur campuran.
Penulis mengambil setting Alif yang sudah bekerja lalu mulai masuk ke dalam
ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya di Pondok Madani. Setelah cukup panjang
menceritakan tentang pondok, penulis beralih lagi ke kehidupan Alif sekarang.
Bisa Mengubah pola pikir kita tentang kehidupan pondok yang hanya belajar agama
saja. Karena dalam novel ini selain belajar ilmu agama, ternyata juga belajar ilmu
umum seperti bahasa inggris, arab, kesenian dll.
Kelemahan :
Penulis kurang
mampu memperlihatkan dinamika dalam cerita. Klimaks cerita kurang menonjol
sehingga para pembaca merasa dinamika ceritaa sedikit datar. Setelah selesai
membaca, pembaca merasa cerita belum selesai setuntas-tuntasnya. Hal ini
mungkin disebakan karena penulis mendasarkan ceritanya pada kisah nyata dan
tidak ingin melebih-lebihkannya.
http://ernhaimoetcllu.wordpress.com/2013/03/08/negeri-5-menara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar