Sabtu, 08 Juni 2013

Resensi Novel Twilight

Judul buku                     : Twilight
Nama pengarang              : Stephennie Meyer
Nama penerbit                : Little Brown, USA
Tempat terbit                 : New York, United States
Cetakan                          :5, Oktober 2005
Tebal Buku                     : 518 Halaman

           
Novel imajinasi, mungkin sebagian dari kita menganggap kalau novel imajinasi dalam pengkhayalannya begitu sulit saat kita hanya dapat membayangkannya dari suatu tulisan novel, namun semua ini tidak berlaku untuk novel yang berjudul Twilight karangan Stephennie Meyer. Mayer mampu menulisakan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti sehingga menjadikan novel fiksi ini dalam penyampaiannya begitu menarik bagi pembaca dan apa yang ingin di sampaikan sang penulis pun dimengerti.
***
Novel ini ditulis dalam sudut pandang sang tokoh utama, Isabella Swan (Bella), yang harus pindah dari Phoenix ke kota kecil bernama Forks yang terletak di barat laut Washington untuk tinggal bersama ayahnya, Charlie. Bella yang selama ini tinggal bersama ibunya, Renee, memutuskan hal tersebut untuk memberi kesempatan pada ibunya yang baru menikah dengan suami barunya, Phil, agar dapat menikmati kehidupan pernikahannya yang baru tanpa beban. Bukan berarti Bella tidak menyukai Phil, hanya saja Phil selalu hidup berpindah-pindah, dan Bella berpendapat itu tidak akan baik untuk hidupnya dan mungkin ini adalah kesempatan untuk lebih mengenal ayah kandungnya.

Kota Forks dan Phoenix berbeda dalam banyak hal. Dari mulai cuaca hingga jumlah penduduknya. Bella selalu membenci Forks, dan sangat mencintai Phoenix. Tapi ternyata di Forks-lah ia bertemu dengan Edward Cullen. Edward adalah pemuda bertubuh kurus dengan rambut berwarna perunggu, Dan sangat tampan. Pengarang menyebut ketampanan Edward sebagai “keindahan luar biasa yang memancarkan kekejaman”. Dan dia adalah VAMPIR.
Namun tidak seperti vampir kebanyakan, Edward dan keluarganya (yang semuanya vampir) tidak memburu manusia, melainkan memburu hewan sebagai gantinya. Hanya saja, Edward mengakui bahwa ‘aroma’ Bella merupakan godaan yang amat sangat berat baginya, sehingga karena alasan itulah Edward bersikap sangat kasar saat pertama kali bertemu Bella. Belakangan ia mengakui karena saat itu ia begitu terobsesi dengan aroma tubuh Bella yang membuatnya sangat haus akan darahnya. Perasaan itu diungkapkan sebagai berikut,

“Bagiku kau rasanya seperti semacam roh jahat yang dikirim langsung dari nerakaku sendiri untuk menghancurkanku. Aroma yang menguar dari kulitmu...Kupikir akan membuatku gila pada hari pertama itu. Dalam satu jam itu aku memikirkan seratus cara berbeda untuk memancingmu keluar dari ruangan itu bersamaku, agar aku bisa berdua saja denganmu...”

“Tentu saja, kemudian kau nyaris mati tepat dihadapanku. Baru setelahnya aku menemukan alasan yang sangat tepat mengapa aku beraksi saat itu—karena jika aku tidak menyelamatkanmu, jika darahmu tercecer disana didepanku, kurasa aku takkan bisa menghentikan diriku mengungkapkan diri kami sebenarnya. Tapi aku baru memikirkan alasan itu setelahnya. Saat itu, bisa kupikirkan hanyalah,”Jangan dia.””

Tapi lebih dari semua itu, Edward sangat mencintai Bella. Sangat melindungi Bella. Dan Bella begitu irrasional dapat menerima kenyataan siapa sebenarnya Edward dengan begitu tenang. Tapi saya rasa, saya pun akan bersikap seperti Bella dicintai dengan amat sangat oleh Edward. Siapa yang bisa bilang ‘tidak’ dengan laki-laki tampan, pintar, dan vampir BAIK.

Masalah timbul ketika vampir dari koloni yang berbeda datang berkunjung ke Forks. Koloni ini adalah kategori pemburu. Yup, pemburu manusia. Dan salah satu dari mereka tiba-tiba saja terobsesi dengan Bella. Selain karena ‘aroma’nya yang enak juga karena kenyataan bahwa Edward melindungi Bella. Pemburu itu, bernama James, merasa tertantang. Dan kejar-kejaran pun dimulai dengan melibatkan seluruh keluarga Edward yang berusaha menyelamatkan Bella. Ada satu momen yang saya sukai saat ini, yaitu saat Bella mengkhawatirkan keluarga Edward karena berusaha menyelamatkan dengan segala upaya dan mengungkapkannya pada Alice, adik Edward.

Alice menjawab,”Hampir satu abad lamanya Edward seorang diri. Sekarang dia telah menemukanmu. Kau tak bisa melihat perubahan yang kami lihat, kami telah bersama dengannya untuk waktu yang lama. Kau pikir kami tega menatap dalam matanya selama ratusan tahun yang akan datang bila dia kehilangan dirimu?”

Ini adalah kisah cinta terlarang. Dan seperti cinta terlarang lainnya, cinta ini tak mengenal jalan kembali, selain menjadi hidup dan sekaligus mati pada saat yang sama.

***
Stephenie Meyer berhasil membuat para pembaca terpikat oleh sosok sempurna Edward.Bahkan ketika Bella dihadapi oleh dilema besar, penulis mampu membuat pembaca ikut merasakan konflik batin yang dirasakan Bella.

Yang menjadi kelebihan dan membuat novel ini digandrungi oleh para penggemarnya mungkin gaya bahasa yang halus dan gampang diikuti, tema lapuk tentang cinta dibuat lebih segar dengan memasukkan tokoh vampire dengan sosok baru (penggambaran vampire oleh Meyer dalam novel ini agak berbeda dengan gambaran kebanyakan dan sangat menarik), juga tentu saja hal yang membuat saya menyukai novel ini yaitu ketegangan yang dibangun secara bertahap, dari suasana asing disekeliling Bella, keanehan bertemu keluarga Cullen yang misterius, hingga bentrok dengan vampire nomad.
Jalan cerita yang penuh intrik dan tidak membosankan, dengan tampilan cover novel yang baik dan membuat ingin tahu. Kisah yang dirangkai dengan unik dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, alur cerita yang jelas dan mudah diikuti. Ditail-dital serta sejarah dari setiap tokoh dipaparkan dengan baik, sehingga dalam mendeskripsian, novel ini mudah dipahami.
Belum lagi dalam penggambaran kisahnya, Mayer menjadikan tiga perempat buku ini berisi cerita cinta dan cerita tentang bagaimana perasaan sang pemeran utama terhadap vampire yang disukain yaitu Kira-kira menjelang akhir buku, barulah muncul konflik yang cukup menaikkan ketegangan, sehingga saat ketegangan muncul membuat pembaca seolah mendapatkan kejutan paling menarik dari novel tersebut sehingga menjadikan ending dari novel ini begitu membekas dihati pembacanya.
***
Dalam penulisannnya Mayer hanya terpaku pada tokoh yang sama dan kurangnya interaksi sang tokoh utama dengan tokoh-tokoh lainnya itulah yang membuat konflik yang harusnya dapat dikembangkan justru hanya terpaku pada satu orang.
Penggambaran perjuangan Bella dalam menghadapi suasana kota Fork yang dibencinya justru berjalan datar seperti juga dengan interaksi Bella dengan The Cullens. Sayang, ilustrasi cover buku ini kurang mencerminkan bukunya. Selain itu, kekurangan buku ini adalah buku ini terlalu mengedepankan perasaan Bella, sehingga kisah ini agak terlalu melankolis dan mendayu-dayu.
Dilihat dari penokohan Edward Cullen yang terlihat mirip Romeo, Hamlet dan tokoh tragic hero yang lain dengan karakterisasi kurang kuat, lalu tokoh Bella yang menjadi narrator cerita terlalu tidak membumi (Karakter Bella terasa lebih mirip vampire daripada manusia), belum lagi plot cerita sederhana yang malah dibikin melebar (kesannya bertele-tele), hingga tema lama yang juga boleh dibilang sudah lapuk (kisah cinta dua dunia berbeda).
***
Intinya, novel ini sangat layak dibaca untuk kalian yang suka akan kisah cinta yang tidak biasa. Memang, novel ini tidak ‘sedalam’ novel The Time Traveller’s Wife karangan Audrey Niffenegger, tapi novel ini sangat indah dengan caranya sendiri. Dan novel ini sendiri cocok untuk para remaja yang menggemari novel imajinasi. Bahkan begitu terkenalnya novel Twilight ini, sampai dirilis film dengan judul yang sama dengan novelnya yaitu Twilight yang saat  ini diputar di bioskop – bioskop di seluruh dunia.



http://emprorerfaisal.blogspot.com/2011/12/resensi-novel twilight.html#ixzz2VcBhPJZC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar